Asia Learning Exchange ke Tamblingan
Pertukaran Pembelajaran Regional Asia tentang Inklusi Sosial dan Pemuda diselenggarakan bersama oleh Koalisi untuk Keadilan Tenure di Indonesia (KT), International Land Coalition (ILC), Samdhana Institute, dan Tenure Facility (TF). Acara ini mempertemukan mitra, anggota, dan organisasi terpilih yang bekerja untuk memajukan keamanan tenurial masyarakat. Pertukaran pembelajaran diawali dengan kunjungan lapangan selama tiga hari ke empat lokasi, salah satunya ke kawasan Adat Dalem Tamblingan (ADT) di Catur Desa. Ada 24 orang yang berasal dari Nepal, India, Filipina, Kamboja, Papua, Kalimantan, Sulawesi, dan Jabodetabek berkunjung ke ADT.
Minggu, 28 Mei 2023
Rombongan tiba di Wantilan Gobleg sekitar jam 11.30, disambut dengan kelepon, kacang rebus, dan kopi. Kegiatan dibuka oleh Dane Pengerajeg Adat Dalem Tamblingan dan Ketua Pengurus Yayasan Wisnu. Dane Pengerajeg menyampaikan setidaknya ada tiga investor yang telah mencoba berinvestasi di Alas Mertajati, bahkan yang terakhir pemerintah Indonesia meminta masyarakat ADT untuk mendukung rencana proyek. Permohonan Alas Mertajati menjadi hutan adat oleh masyarakat ADT ditujukan untuk mengembalikan kesucian Alas Mertajati, membiarkannya apa adanya. Sementara itu, Ketua Wisnu mengatakan bahwa Yayasan Wisnu lahir di kawasan ADT, tepatnya di Desa Munduk, 30 tahun yang lalu.
Setelah makan siang, kegiatan dilanjutkan dengan pemaparan dari Pak Pak Putu Ardana (BRASTI Tamblingan) dan Kasmita Widodo (BRWA), difasilitasi oleh Pak Made Suarnatha (Wisnu). Pak Putu memaparkan kesejarahan masyarakat ADT yang sudah tertulis dalam prasasti Ugrasena pada abad ke-9 dengan nama karaman I Tamblingan. Ketika itu mereka tinggal di dalam hutan, Alas Mertajati. Kemudian, dengan kesadaran bahwa hutan merupakan sumber kehidupan dan harus dijaga kesuciannya, karaman I Tamblingan memutuskan untuk berpindah ke daerah di bawahnya yang saat ini dikenal dengan naman Catur Desa (Gobleg, Munduk, Gesing, Umejero).
Namun, pada abad 20, pada masa pemerintahan Belanda, Alas Mertajati ditetapkan sebagai Cagar Alam. Pada abad 21, pada masa pemerintahan Indonesia, sebagian ditetapkan sebagai hutan lindung, dan sebagian lagi sebagai Taman Wisata Alam yang artinya dibuka peluang bagi pihak luar untuk berinvestasi di dalam kawasan hutan. Kondisi ini menjadikan Alas Mertajati mengalami degradasi. Maka, bersamaan dengan diajukannya permohonan Alas Mertajati sebagai hutan adat, masyarakat ADT juga membentuk Baga Raksa Alas Mertajati (BRASTI) untuk menciptakan masyarakat yang sejahtera, berbudaya dan berkebudayaan, maju, serta bentang lahannya terjaga.
Sementara itu, Pak Dodo mengatakan bahwa kegiatan pemetaan partisipatif telah dilakukan sejak tahun 1996 dan bahwa pemetaan wilayah adat bukanlah kegiatan yang mudah, terutama kebutuhan waktu dalam pelaksanaan pemetaan serta kesepakatan di tingkat masyarakat. Maka kebijakan/aturan, kepemimpinan, dan kelembagaan di tingkat kabupaten menjadi penting dalam mendukung keberhasilan pemetaan wilayah adat. Faktor penting lainnya adalah komitmen dan kesolidan masyarakat, serta politik dan keberadaan anggaran.
Selanjutnya, Margaretha Nilson dari Tenure Facility mengatakan bahwa inklusi, koneksi, dan persatuan merupakan hal penting. Hal ini telah ada dalam masyarakat ADT yang terdiri dari empat desa. Ada hubungan yang sangat kuat antara para leluhur, generasi saat ini, dan generasi mendatang, melalui warisan dan tugas yang diberikan untuk menjaga warisan tersebut. Ritual dan upacara merupakan cara untuk menjaga identitas. Manusia adalah bagian dari alam, sebagai kesatuan alam semesta.
Senin, 29 Mei 2023
Kegiatan hari ini diawali dengan refleksi hari sebelumnya. Sebagian besar peserta menyatakan bahwa ada banyak pembelajaran yang didapat, di antaranya ritual dan sarananya pada dasarnya merupakan cara masyarakat ADT melakukan konservasi karena aneka jenis tanaman yang dibutuhkan harus tetap ada. Hal menarik lainnya adalah adanya transfer pengetahuan dari generasi tua ke generasi muda melalui kelembagaan Brasti.
Rombongan selanjutnya berkendaraan ke Bencingah, dan dari sana berjalan kaki ke Pura Dalem Tamblingan yang terletak di tepi danau. Perjalanan ditempuh dalam waktu sekitar dua jam, menyusuri jalan setapak di tengah hutan, melewati aneka jenis vegetasi dan tempat-tempat yang disakralkan masyarakat ADT. Setibanya di Pura Dalem Tamblingan, rombongan melanjutkan perjalanan ke Pura Gubug di seberang danau dengan pedau. Perahu tradisional ini adalah satu-satunya alat transportasi yang bisa dan boleh digunakan di Danau Tamblingan, sebagai upaya untuk menjaga kualitas air danau.
Upaya lain dalam menjaga danau dan hutan Tamblingan yang telah dilakukan masyarakat ADT dipaparkan oleh anak muda Brasti melalui dua video yang telah dibuat. Keduanya dapat dilihat di kanal YouTube Yayasan Wisnu (Perjuangan Sang Penjaga dan Jejak Langkah Sang Penjaga). Diskusi yang dilakukan setelah pemutaran video di Bale Melajah Alas Mertajati berjalan seru karena berfokus pada peran anak muda. Video yang dibuat oleh anak muda Brasti, salah satunya ditujukan sebagai alat kampanye untuk memberikan pemahaman kepada anak muda ADT akan kondisi Alas Mertajati saat ini. Melalui video ini diharapkan juga semakin banyak anak muda ADT yang mau bergabung dalam Brasti.
Ada banyak dukungan yang didapat dari para peserta Asia Learning Exchange, salah satunya jumlah followers IG @tamblinganku dan subscribers YouTube Brasti Tamblingan semakin bertambah. Beberapa dari peserta menyatakan bahwa mereka akan mengajak anak muda di daerah asalnya untuk menonton video-video tersebut, dengan harapan energi anak muda Tamblingan bisa menular ke anak muda di daerahnya. Tantangannya adalah, bagaimana membangun komunikasi yang tepat di antara ke dua generasi tersebut.
Refleksi dilakukan kembali sebelum makan malam. Hampir semua peserta merasakan semangat dan komitmen anak muda Brasti. Kampanye melalui video yang dibuat menggunakan alat terbatas, seperti handphone merupakan cara untuk melibatkan anak muda dan memberikan pemahaman. Tantangan terbesar yang dihadapi untuk lebih banyak melibatkan anak muda dalam kegiatan adalah adanya tuntutan ekonomi dan aktivitas yang dilakukan di luar desa.
Selasa, 30 Mei 2023
Pada hari III, peserta dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok yang berkunjung ke Desa Gobleg dan Desa Umejero:
Desa Gobleg: melihat dan berdiskusi tentang alih fungsi lahan yang terjadi di Catur Desa. Awalnya kawasan penyangga Alas Mertajati , termasuk daerah Asah Gobleg sebagai titik awal kunjungan, adalah wilayah yang banyak ditumbuhi oleh pohon-pohon besar, salah satunya pohon kopi yang ukuran bijinya besar-besar. Kemudian Belanda memperkenalkan jenis kopi baru, dan kawasan Asah Gobleg menjadi perkebunan kopi robusta dengan pohon-pohon penaungnya. Pada tahun 80-an, harga biji kopi sangat rendah dan hasil panen juga berkurang. Masyarakat kemudian mencoba menanam bunga pecah seribu (hortensia), aneka jenis sayuran, dan jeruk. Jika dibandingkan dari satu hektar lahan (harga saat ini), kebun kopi menghasilkan 1 ton kopi kering (sekitar Rp 80 juta per tahun), sementara kebun bunga setiap minggu menghasilkan 3 kw (sekitar Rp 3.000.000, atau sekitar 150 juta per tahun) ditambah penjualan sayuran dan jeruk.
Bersamaan dengan masuknya bunga dan sayur, diperkenalkan juga tanaman cengkeh. Pohon cengkeh ditanam di daerah lebih rendah dari perkebunan bunga dan sayur. Hasil panen sangat tergantung cuaca dan harganya juga naik turu. Jika dirata-rata, dari satu hektar lahan bisa menghasilkan 1 ton dengan harga sekitar Rp 120 juta. Walaupun berupa pohon, sifat cengkeh hampir sama dengan bunga dan sayur, yaitu tidak bisa menyimpan air dan tidak bisa memegang tanah, juga harus ditanam secara monokultur. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran, walaupun kesejahteraan masyarakat ADT secara ekonomi meningkat, namun sangat bergantung pada pasar, serta keseimbangan dan kualitas lingkungannya menurun.
Maka, salah satu cara yang coba dilakukan untuk mengurangi ketergantungan pada pasar adalah mengolah sumber pangan “liar” dan tidak lagi diperhatikan, salah satunya keladi. Keladi tidak perlu dibudidaya, namun bisa tumbuh di antara tanaman bunga, sayur, dan cengkeh. Kelompok perempuan Gobleg mengolahnya menjadi keripik.
Desa Umejero: berkunjung ke Umeduwe. Dikisahkan, setelah para leluhur memutuskan untuk keluar dari Alas Mertajati, desa pertama yang dibangun adalah Hunusan (saat ini bernama Gobleg). Selanjutnya ada yang berdiam di Tengah-mel (Munduk) dan Pangi (Gesing). Dane Pengerajeg kemudian memerintahkan keturunan Belog Bengkung untuk membuka permukiman dan areal persawahan (uma) di luar desa. Kemudian ditemukanlah sumber air yang bisa digunakan untuk irigasi, namun terhalang batu besar. Dane Pengerajeg memberikan tongkat untuk mengangkat batu, sehingga air bisa mengalir. Maka, sawah seluas 30 are didedikasikan untuk ditanami padi kebutuhan upacara (beras merah dan putih, ketan putih dan hitum), sehingga dinamakan umaduwe.
Selain sawah, kebun juga merupakan sumber pangan. Ada banyak jenis tanaman yang bisa dijumpai, di antaranya aneka jenis daun “liar” untuk sayuran, rempah, buah (terutama pisang), vanili dan kopi. Pisang yang dihasilkan ada yang diolah menjadi keripik oleh KWT (Kelompok Wanita Tani) Sari Mekar. Kopi juga diolah oleh KWT menjadi kopi bubuk. Usaha lainnya adalah membuat jaja (kue), dan dua di antaranya disuguhkan kepada tamu yang datang, yaitu lepet bugis yang dibuat dari ketan dan ubi ungu), juga timus yang dibuat dari singkong. Menariknya, ketika berkunjung ke kebun ada pepaya matang, kemudian dibawa ke tempat istirahat dijadikan rujak.
Kunjungan Asia Learning Exchange ditutup di Wantilan Gobleg, sambil makan siang. Sebagai ucapan terima kasih dan oleh-oleh, para peserta mendapatkan goodie bag berisi keripik keladi, keripik pisang, dan kopi bubuk.