“Murnama Kapat” di Tamblingan

“Murnama Kapat” di Tamblingan

Tahun ini, 2019, Purnama sasih Kapat jatuh pada hari Minggu, 13 Oktober. Berdasarkan beberapa sumber (baik primer maupun sekunder), Purnama Kapat merupakan saat terbaik melakukan upacara persembahyangan. Saat ini, matahari tepat berada di garis khatulistiwa, sehingga matahari bersinar terik dan pada jam 12 siang bayangan kita tegak lurus dengan badan. Demikian juga dengan bulan, berposisi tepat di garis khatulistiwa, sehingga ketika malam bulan bersinar penuh.

Dan pada saat inilah, Tim Pemetaan Adat Dalem Tamblingan Catur Desa diberikan kesempatan khusus melakukan persembahyangan di Pura Gubug. Maka kemudian, ketika tirta di-ketis-kan ke atas kepala, rasa segar menjalari seluruh tubuh. Terlebih lagi ketika masuk ke dalam kerongkongan. Segar yang sesegar-segarnya …

IMG_1101

Purnama sasih Kapat di Tamblingan merupakan bagian dari lilitan karya, rangkaian upacara sangat panjang yang dimulai pada Tilem sasih Kasa pada bulan Juli, hingga Purnama sasih Kalima di bulan November. Rangkaian upacara yang dilakukan oleh masyarakat Adat Dalem Tamblingan Catur Desa (Gobleg, Munduk, Gesing, Umejero) ini mempunyai dua tujuan utama, yaitu membersihkan alam dan manusia dari hal-hal buruk, serta berbagi kesejahteraan kepada sesama.

Kegiatan yang dilaksanakan pada Purnama Kapat berupa ngaturang pengeresik di semua pura Adat Dalem Tamblingan, kemudian dilanjutkan ke bagian hulu atau kepala, yaitu di seputaran Danau Tamblingan dan Alas Merta Jati. Selain untuk penyucian kawasan, ritual ini sekaligus juga memohon kesejahteraan kepada Sang Pemilik Semesta yang nantinya akan disebarkan ke segala penjuru, yaitu air sebagai sumber kehidupan.

Pada saat upacara inilah saya melihat Bali “masa lampau”, ketika segala yang dilakukan hanya untuk diri dan semesta:

  1. Entah karena instruksi Gubernur Bali atau memang sudah menjadi kebiasaan sejak dulu. Para ibu menggunakan kain untuk membawa banten. Saya jadi teringat masa kecil, ketika kain segiempat yang biasa difungsikan sebagai taplak meja, juga digunakan untuk membungkus dan membawa barang.
  2. Semua orang diperbolehkan nunas di bale pewaregan. Makanan yang disediakan selalu ditambahkan lagi ketika yang disajikan di atas meja sudah terlihat sedikit. Tim masak yang didominasi oleh lali-laki, selalu siap sedia memasak.
  3. Hanya ada kami, orang-orang yang datang ke Danau Tamblingan untuk bersembahyang di Pura Gubug. Tidak tampak orang lain yang tidak berpakaian adat, bahkan tidak tampak turis, baik asing maupun lokal terlihat menonton jalannya upacara – satu hal yang biasanya menjadi hal lumrah di Bali: berupacara dengan ditonton turis.
  4. Satu hal yang menguatkan, bahwa berkat dan kesejahteraan akan dilimpahkan, sehingga bisa disebarkan ke segala penjuru. Ketika mepekelem, kurban dipersembahkan kepada Sang Pemilik, langit menjadi gelap dan hujan turun sangat deras selama sekitar 30 menit.

IMG_1343

Hanya pedahu, perahu tradisional yang boleh digunakan di Danau Tamblingan. Bahkan dalam kegiatan sehari-hari, tidak boleh ada perahu bermotor di Danau Tamblingan. Aturan dibuat dan dilaksanakan untuk menjaga kualitas air danau, untuk menjaga kemurnian dan kesucian air Danau Tamblingan, agar tetap dan selalu menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat Adat Dalem Tamblingan Catur Desa, bahkan masyarakat di tiga kabupaten di Bali yaitu Buleleng, Tabanan, dan Badung.

(Foto oleh Werdiasa, Tim Pemetaan Partisipatif Adat Dalem Tamblingan)

Leave a Reply

Your email address will not be published.